TUGAS TERSTRUKTUR KELOMPOK
MATA KULIAH ETIKA PROFESI
”CYBER LAW”
OLEH:
KELOMPOK 3
HESTI UTARI (DTI200906) , SITI MARYATI (DTI200913)
OKTAFIANI N. F. (SIR200925) , ESTI YULIANA (SIR200938)
Dosen Pengampu : Sulistiyasni, S. Kom
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER (STMIK)
WIDYA UTAMA PURWOKERTO
2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak
dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang
dan waktu. Padahal ruang dan waktu
seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan
transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika,
dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Cyberlaw merupakan salah
satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Di Indonesia telah keluar
dua buah Rancangan Undang-Undang (RUU). Yang satu diberi nama: “RUU
Pemanfaatan Teknologi Informasi” (PTI), sementara satunya lagi bernama “RUU
Transaksi Elektronik”. RUU PTI dimotori oleh Fakultas Hukum Universitas
Pajajaran dan Tim Asistensi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jalur
Departemen Perhubungan (melalui Dirjen Postel), sementar RUU TE dimotori oleh
Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi dari Universitas Indonesia dengan jalur
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
B.
Batasan Masalah
Penulis membatasi penulisan makalah ini meliputi pengertian, ruang lingkup
dan perangkat Cyberlaw.
C.
Tujuan Pembuatan
Berikut tujuan pembuatan makalah ini :
a.
Menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Etika Profesi.
b.
Menambah wawasan tentang cyberlaw yang diterapkan di
Indonesia pada khususnya dan Internasional pada umumnya.
BAB II
CYBER LAW
A.
Pengertian Cyber Law
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang
umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan
atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang
dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw
sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan
memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi
kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita
perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world).
B.
Ruang
Lingkup Cyber Law
Jonathan Rosenoer dalam
Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyber law :
1.
Hak
Cipta (Copy Right)
2.
Hak
Merk (Trademark)
3.
Pencemaran
nama baik (Defamation)
4.
Fitnah,
Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
5.
Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses,
Illegal Access)
6.
Pengaturan
sumber daya internet seperti IP-Address, domain name
7.
Kenyamanan
Individu (Privacy)
8.
Prinsip
kehati-hatian (Duty care)
9.
Tindakan
kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat Isu prosedural seperti
yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dan lain-lain.
10.
Kontrak / transaksi elektronik dan tanda tangan digital
11.
Perangkat Hukum Cyber Law
12.
Pornografi
13.
Pencurian melalui Internet
14.
Perlindungan Konsumen
15. Pemanfaatan internet dalam aktivitas
keseharianseperti e- commerce, e-government, e-education
C.
Perangkat
Cyberlaw
Pembentukan Cyberlaw tidak
lepas dari sinergi pembuat kebijakan cyberlaw (pemerintah) dan pengguna dunia
cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar
pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan
segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan
hukum yang disepakati maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara
Menetapkan prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara
lain :
1.
Melibatkan unsur yang terkait (pemerintah, swasta,
profesional).
2.
Menggunakan pendekatan moderat untuk mensintesiskan
prinsip
3.
Memperhatikan
keunikan dari dunia maya
4.
Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat
internet yang global
5.
Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan
yang menyangkut industri dan perdagangan.
6.
Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang
jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik
7.
Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif
melainkan harus direktif dan futuristik
8.
Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang
memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum
akibat transaksi di internet seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan
konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman
Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.
Cyberlaw tidak akan berhasil jika aspek yurisdiksi hukum
diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut
juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara,
sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada tiga
yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut
juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara,
sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada tiga
yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
1.
yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan,
2.
yurisdiksi judicial, yakni kewenangan negara untuk
mengadili atau menerapkan
kewenangan hukumnya,
kewenangan hukumnya,
3.
yurisdiksi eksekutif untuk melaksanakan aturan yang
dibuatnya.
D.
Kebijakan IT di Indonesia
Ada dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk mengatur kegiatan di cyber
space, yaitu :
·
Model ketentuan Payung (Umbrella Provisions), Model ini
dapat memuat materi pokok saja dengan memperhatikan semua kepentingan (seperti
pelaku usaha, konsumen, pemerintah dan pemegak hukum), Juga keterkaitan
hubungan dengan peraturan perundang – undangan.
·
Model Triangle Regulations sebagai upaya mengantisipasi
pesatnya laju kegiatan di cyber space. Upaya yang menitikberatkan permasalahan
prioritas yaitu pengaturan sehubungan transaksi online, pengaturan sehubungan
privacy protection terhadap pelaku bisnis dan konsumen, pengaturan sehubungan
cyber crime yang memuat yuridiksi dan kompetensi dari badan peradilan terhadap
kasus cyber space.
Dalam moderinisasi hukum pidana, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dalam seminar
cyber crime 19 maret 2003 mengusulkan alternatif :
1.
Menghapus pasal – pasal dalam UU terkait yang tidak
dipakai lagi
2.
Mengamandemen
KUHP
3.
Menyisipkan hasil kajian dalam RUU yang ada
4.
Membuat RUU sendiri misalnya RUU Teknologi Informasi
Upaya tersebut tampaknya telah dilakukan terbukti dengan mulai disusunnya
RUU KUHP yang baru (konsep tahun 2000).Di samping pembaharuan KHUP di Indonesia
juga telah ditawarkan alternatif menyusun RUU sendiri, antara lain RUU yang
disusun oleh tim dari pusat kajian cyber law UNPAD yang diberi title RUU TI
draft III yang saat ini telah disyahkan menjadi UUITE.
E. Perkembangan Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun
1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit
mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada
sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat
diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya
hal ini tidak terlaksana.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal
lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang
mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia
maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking,
membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama
domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada
undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk
memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait
dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa
melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita
menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika
akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia
berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke
luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan
sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker
ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan
/ hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber
(dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet.
- Jonathan
Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup
cyber law yang terbagi menjadi 15 poin.
- Ada dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk
mengatur kegiatan di cyber space, yaitu :
a.
Model ketentuan Payung (Umbrella Provisions.
b.
Model Triangle Regulations.
- Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia
sudah dimulai sebelum tahun 1999 dan berkembang hingga sekarang.
B.
Saran dan Kritik
Penulis
menyarankan agar tugas kelompok ini terus dilaksanakan setiap tahunnya untuk
memperkaya wawasan mahasiswa. Penulis juga mengharap kritik yang membangun demi
kesempurnaan tugas makalah kelompok ini
Numpang baca ya kak, buat referensi tugas kuliah :D
BalasHapustrimakasih....
Rekomendasi Artikel Terkait, lengkap..
BalasHapusPranala --> MENGENAL CYBER CRIME